pada tanggal
Pertanian
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pertanahan di Indonesia sudah
mulai diatur pada saat terbentuknya Panitia Agraria Yogyakarta melalui
Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 yang pada saat itu diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo. Panitia ini merumuskan asas yang merupakan dasar hukum agraria
pada saat itu. Tiga tahun kemudian, Pemerintah membubarkan Panitia Agraria
Yogyakarta dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 yang
sekaligus membentuk Panitia Agraria Jakarta. Pembentukan itu dimaksudkan
sebagai upaya untuk mempersiapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan yang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Selanjutnya lewat Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1955, Pemerintah membentuk Kementrian Agraria yang
berdiri sendiri dan terpisah dari Departemen Dalam Negeri.
Lalu pada tahun 1956, berdasarkan
Keputusan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan
Agraria Yogyakarta yang sekaligus membubarkan Panitia Agraria Jakarta. Tugasnya
adalah untuk mempersiapkan proses pembentukan Undang-Undang Agraria Nasional.
Pada 1 Juni 1957, Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta telah selesai
menyusun naskah draf rancangan UUPA. Pada saat yang sama berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 190 Tahun 1957, tugas jawatan pendaftaran tanah yang semula
masuk Kementrian Kehakiman dialihkan pada Kementrian Agraria.
Pada tahun 1958, berdasarkan
Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1958, Panitia Negara Urusan Agraria
dibubarkan. Lalu pada 24 April 1958 Rancangan UUPA diajukan kepada DPR.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1958 (Lembaran Negara No. 17/1958)
ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang yang menyangkut agraria dari Menteri
Dalam Negeri kepada Menteri Agraria serta Pejabat Agraria di daerah. Lambat
laun, terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi, keresidenan, dan
kabupaten/kotamadya.
Titik terjadinya reformasi hukum
pertanahan nasional terjadi pada 24 September 1960. Ketika rancangan UUPA
disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran
Negara Nomor 104 Tahun 1960 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043, tentang
Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1960). Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 maka
pengaturan soal tanah menggunakan produk hukum nasional yang bersumber dari
hukum adat.
Hingga tahun 1964 Kebijakan
pertanahan difokuskan pada pembenahan penguasaan dan pemilikan mulai dari
susunan Kantor Pusat Departemen Agraria. Departemen Agraria menyelenggarakan
likuidisasi hak-hak dan pemberantasan sisa-sisa tanah feudal, juga membangun
kembali hukum agraria yang progresif revolusioner.
Pada tahun 1965 Departemen
Agraria diciutkan kembali menjadi lembaga setingkat Direktorat Jenderal dan
bernaung kembali juga pada Departemen Dalam Negeri. Pemerintah Orde Baru
melakukan hal tersebut dengan alasan ingin menyederhanakan organisasi dalam
rangka efisiensi. Pada saat itu juga terjadi perubahan organisasi yang
mendasar. Bahkan, rezim pemerintahan Orde Baru justru banyak menerbitkan UU
Sektoral lain yang memiliki maksud berbeda dengan UUPA 1960. Dengan jalan
penerbitan UU Sektoral itu, Orde Baru dapat melakukan pengadaan tanah dalam
skala besar untuk kepentingan modal dengan memanfaatkan praktik penetapan
berbagai jenis hak atas sebidang tanah dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dilakukan dan disponsori langsung oleh negara. Hal tersebut dapat
terlihat dalam pengenalan dan penetapan Hak Guna Usaha, Hak Penguasaan Hutan,
Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya
Pertambangan, dan lain-lain. Salah satu bentuk UU Sektoral yang justru
menistakan UUPA 1960 ialah dengan keluarnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing
tahun 1967, yang bisa dikatakan sangat merugikan masyarakat Indonesia.
"Salah satu bentuk politik agraria Orde Baru yang paling kentara adalah proyek Revolusi Hijau. Revolusi Hijau dipilih sebagai strategi untuk menggantikan land reform yang selama beberapa tahun ‘diidentikkan’ dengan kebijakan yang bercorak komunis."
Dalam
pelaksanaannya, proyek Revolusi Hijau dibiayai dengan dana hutang dari Bank
Dunia, beserta lembaga-lembaga keuangan Internasional lainnya. Dari uraian
diatas, ciri utama kebijakan politik agraria masa Orde Baru adalah pembangunan
industri padat modal, intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau), yang hampir
semuanya dibiayai oleh lembaga-lembaga keuangan Internasional. Selain daripada
itu, sikap ‘ambivalent’ yang ditunjukkan oleh pemerintah pada masa itu yang
mana UUPA 1960 masih diterapkan sebagai dasar hukum pertanahan dan keagrarian
yang masih sah berlaku, namun di sisi lainnya, kebijakan agraria dan
penerapannya tidak sesuai dengan UUPA 1960. Seharusnya mendistribusikan tanah
kepada rakyat kecil, pemerintah justru lebih mengutamakan pembukaan konsensi
pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang cenderung menyingkirkan masyarakat
dari alat produksinya.
Ketika Orde Baru dilengserkan dan
digantikan dengan era yang kita sebut Reformasi, pekerjaan rumah dibidang
pertanian perlu penataan kembali. Terkait dengan adanya tuntutan reformasi
disegala bidang pembangunan, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun
2001 telah mengeluarkan suatu Ketetapan Nomor IX/MPR/2001, tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Keputusan MPR RI Nomor
5/MPR/2003, tentang penugasan kepada Pimpinan MPR untuk menyampaikan saran atas
pelaksanaan putusan MPR oleh Presiden, DPR, MA, BPK.
Dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
disebutkan bahwa arah kebijakan pembaruan agraria di Indonesia adalah terlebih
dahulu melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai kebijakan ataupun peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan agraria dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antar sektor agraria, agar dapat terwujud peraturan
perundang-undangan yang berdasar pada prinsip-prinsip reforma agraria, dan
melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah (land reform) yang berkeadilan dengan tetap memperhatikan kepemilikan
tanah untuk rakyat. Dengan melihat TAP MPR tersebut, dapat dikatakan bahwa
penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform)
kembali telah dijadikan sebagai salah satu prinsip dan arah kebijakan dalam
pembaruan agraria di Indonesia pada era reformasi.
Reforma agraria pada era
Reformasi dalam perjalanannya mengalami polemik sejak era Habibie sampai
Megawati, terutama pada hal yang mengenai status Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Ketika itu ada desakan apakah UUPA ini
sebenarnya di bawah UUD 1945, sehingga UUPA posisinya sebagai dasar penyusunan
reforma agraria atau UUPA itu sendiri sudah tidak relevan sehingga perlu
direvisi.
Pada tahun 2006, pelaksanaan
reforma agraria baru dinyatakan secara tegas sebagai bagian dari program
pemerintah yang salah satunya adalah dengan menetapkannya sebagai salah satu
fungsi Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. BPN ini bertanggung jawab
langsung kepada Presiden, yang mana Perpres tersebut merupakan upaya untuk
memperkuat aspek kelembagaan dalam pelaksanaan reforma agraria.
Dalam rangka memudahkan proses
perolehan tanah sumber distribusi, maka terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi
ruang bagi penetapan tanah terlantar jika tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Pada 7 April 2016 lalu,
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Agraria dan Tata Ruang mengeluarkan
Peraturan Menteri ATR No. 18 Tahun 2016. Pada Pasal 3 peraturan tersebut
menetapkan tentang pembatasan kepemilikan tanah pertanian untuk perorangan,
seperti 20 hektar maksimum untuk daerah tidak padat dan 12 hektar maksimum
untuk daerah kurang padat. Ketentuan ini diperkuat dengan kewajiban bahwa tanah
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain yang berdomisili di dalam 1 kecamatan
letak tanah dan memang harus dipergunakan untuk pertanian.
Berselang beberapa hari pada
tanggal 14-18 April 2016, dilaksanakan Multilateral Meeting di Bappenas, yang
menghasilkan program “Prioritas Nasional Reforma Agraria”. Bappenas dalam
menetapkan beberapa prioritas dalam menjalankan reforma agraria pada hal
kedaulatan pangan, yakni:
Pada 19 Oktober 2017, Kementrian
Koordinator Bidang Perekonomian melakukan langkah yang bisa dikatakan cukup
gegabah atas nama percepatan reforma agraria dan perhutanan sosial (RA dan PS)
dengan mengikat kerjasama (MoU) dengan World Wild Fund (WWF). Langkah ini
menuai reaksi negatif dari hampir semua kalangan organisasi rakyat, pegiat RA
dan pegiat PS.
Pemerintah telah menempatkan reforma agraria sebagai prioritas nasional yang ditetetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan juga diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017. Tanah seluas 9 juta hektar menjadi rencana redistribusi tanah dan legalisasi aset dalam reforma agraria. Sumber tanahnya itu berasal dari kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan (perkebunan). Kebijakan reforma agraria pada masa ini yang hendak menjawab persoalan agraria nasional melalui Reforma Agraria dinilai telah disimpangkan karena langkah-langkahnya tidak diarahkan untuk menjawab secara fokus krisis agraria yang terjadi di lapangan. Terdapat beberapa masalah dalam penerapan reforma agraria seperti, masalah Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), masalah kelembagaan, masalah regulasi, masalah anggaran, masih buruknya masalah konflik agraria dan kriminalisasi rakyat.
Sumber:
Kajian Penyelenggaraan Urusan Pertanahan Sehubungan dengan
Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Badan Pertanahan
Nasional, Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional, 1999, h. 1-19.
Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, “Menegaskan
Kembali Keharusan Reforma Agraria Sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan”, Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, Vol. 1 No. 1, 2004, hal. 24.
Ahmad Nashih Luthfi, “Melacak Sejarah Pemikiran Agraria:
Sumbangan Pemikiran Madzhab Bogor”, (Yogyakarta: 2011, STPN Press), hal.
56.
Bagas Yusuf Kausan, “Politik Agraria Masa Orde Baru”,
(Paper presented at tugas akhir mata kuliah Sejarah Politik, Semarang, 2017),
hal. 13-14.
Berharnhard Limbong, “Reforma Agraria”, (MP Pustaka
Margaritha, 2012), hal. 290.
Muhamad Bari Baihaqi, 2017, “Pasca Reformasi, Pelaksanaan
Reforma Agraria Tak Ada Kemajuan”, http://www.neraca.co.id/article/84622/pasca-reformasi-pelaksanaan-reforma-agraria-tak-ada-kemajuan/
Oswar Mungkasa, “Reforma Agraria : Sejarah, Konsep, dan
Implementasinya”, Buletin Agraria Indonesia, Edisi I, 2014, hal. 8.
Howard J. Tigris, “Kebijakan dan Pelaksanaan Landreform di
Era Pemerintahan Jokowi-JK”, (RechtsVinding Online, 2016), hal. 2.
Komite Nasional Pembaruan Agraria, 2017, “Refleksi Tiga
Tahun Reforma Agraria Pemerintahan Jokowi-JK: Kembalikan pada Prinsip dan
Tujuan Pokok Agenda Reforma Agraria Sejati”, https://www.kpa.or.id/news/blog/refleksi-tiga-tahun-reforma-agraria-pemerintahan-jokowi-jk/
Keren bang
BalasHapus